Minggu, 23 Juni 2019

Hukum Mencabut Uban


Pada umumnya, uban pada rambut dan jenggot menghinggapi seseorang yang sudah berusia lanjut. Namun, pada saat ini banyak dijumpai seseorang yang masih berusia muda sudah beruban. Tak mengherankan bila hal tersebut membuat dirinya gelisah sehingga ia berinisiatif untuk menyemir atau mencabutnya. Sebenarnya bagaimana hukum mencabut uban dalam Islam?
Dalam Islam, mencabut uban baik pada rambut maupun jenggot termasuk perkara yang dimakruhkan. Ulama dari kalangan mazhab Syafii, seperti Imam Ghazali dan al-Baghawi, mengatakan bahwa mencabut uban hukumnya adalah makruh.
Kemakruhan ini didasarkan pada hadis riwayat Imam Abu Daud dan Tirmizi bahwa Nabi saw. bersabda;
لا تنتفوا الشيب فانه نور المسلم يوم القيامة
“Janganlah kalian mencabut uban karena ia merupakan cahaya orang Muslim di hari kiamat.”
Melalui hadis ini, Imam Nawawi menegaskan dalam kitab al-Majmu bahwa mencabut uban adalah makruh. Bahkan berdasarkan larangan yang jelas dalam hadis di atas, jika mencabut uban dikatakan haram sekalipun tidak salah. Beliau berkata;
يكره نتف الشيب لحديث عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا تنتفوا الشيب فانه نور المسلم يوم القيامة..قال أصحابنا يكره صرح به الغزالي كما سبق والبغوي وآخرون: ولو قيل يحرم للنهي الصريح الصحيح لم يبعد: ولا فرق بين نتفه من اللحية والرأس
Dimakruhkan mencabut uban berdasarkan hadis yang bersumber dari Amr bin Syua’ib, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Nabi saw, beliau bersabda, ‘Janganlah kalian mencabut uban karena ia merupakan cahaya orang Muslim di hari kiamat.’ Sahabat kami (ulama Syafiiyah) berkata, dimakruhkan. Kemakruhan ini ditegaskan oleh Imam Ghazali sebagaimana disebutkan di awal, juga oleh Imam al-Baghawi dan lainnya. Seandainya dikatakan haram karena ada larangan yang jelas, maka tidak jauh. Tidak ada perbedaan antara mencabut uban jenggot dan kepala.”
Kemakruhan ini juga disebutkan dalam kitab Mughnil Muhtaj sebagaimana berikut:

ويكره نتف الشيب من المحل الذي لا يطلب منه إزالة شعره
“Dimakruhkan mencabut uban dari tempat yang tidak dianjurkan untuk menghilangkan rambutnya.”
Dalam Islam, uban merupakan sebuah kemuliaan dan kerena itu sebaiknya dibiarkan tanpa dicabut, baik pada rambut kepala maupun pada jenggot. Dalam hadis riwayat Imam Tirmizi dan Nasai, Nabi saw. bersabda;
من شاب شيبة في الإسلام كانت له نورا
“Barangsiapa beruban dalam Islam, maka ia merupakan cahaya baginya.”

Kedudukan Suara Perempuan,Apakah Aurat?



 Ulama fikih tidak memiliki pandangan tunggal perihal suara perempuan. Ulama berbeda pendapat perihal ini. Sebagian ulama memandang suara perempuan termasuk aurat. Sedangkan ulama lain memandangnya bukan aurat.


اختلف العلماء في صوت المرأة فقال بعضهم إنه ليس بعورة لأن نساء النبي كن يروين الأخبار للرجال وقال بعضهم إن صوتها عورة وهي منهية عن رفعه بالكلام بحيث يسمع ذلك الأجانب إذا كان صوتها أقرب إلى الفتنة من صوت خلخالها وقد قال الله تعالى: وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ فقد نهى الله تعالى عن استماع صوت خلخالها لأنه يدل على زينتها فحرمة رفع صوتها أولى من ذلك ولذلك كره الفقهاء أذان المرأة لأنه يحتاج فيه إلى رفع الصوت والمرأة منهية عن ذلك وعلى هذا فيحرم رفع صوت المرأة بالغناء إذا سمعها الأجانب سواء أكان الغناء على آلة لهو أو كان بغيرها وتزيد الحرمة إذا كان الغناء مشتملا على أوصاف مهيجة للشهوة كذكر الحب والغرام وأوصاف النساء والدعوة إلى الفجور وغير ذلك



Artinya, “Ulama berbeda pendapat perihal suara perempuan. Sebagian ulama mengatakan, suara perempuan bukan aurat karena para istri Rasulullah SAW meriwayatkan hadits kepada para sahabat atau tabi’in laki-laki. Sebagian ulama mengatakan bahwa suara perempuan termasuk aurat. Perempuan ketika berbicara dilarang untuk meninggikan suaranya sekira terdengar oleh laki-laki yang bukan mahram. Pasalnya, suaranya lebih mendekati fitnah daripada suara gemerincing gelang kakinya. Allah berfirman, ‘Janganlah mereka berjalan dengan mengentakkan kaki agar perhiasan mereka yang tersembunyi dapat diketahui,’ (Surat An-Nur ayat 31). Allah melarang laki-laki untuk mendengarkan suara gemerincing gelang kaki perempuan karena itu menunjukkan perhiasan mereka. Keharaman suara perempuan tentu lebih daripada keharaman (mendengarkan) suara gemerincing perhiasannya. Karena itu ahli fiqih memakruhkan azan perempuan karena azan membutuhkan suara yang keras. Sementara perempuan dilarang mengeraskan suaranya. Atas dasar ini, perempuan diharamkan bernyanyi dengan suara keras bila terdengar oleh laki-laki bukan mahram, sama saja nyanyi diiringi alat musik atau tidak diiringi. Keharaman itu bertambah bila nyanyian perempuan itu mengandung unsur yang dapat mengobarkan syahwat seperti menyebut cinta, rindu dendam, deskrispsi perempuan, mengajak pada maksiat, dan lain sebagainya,” (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘ala Madzhahibil Arba‘ah, [Tanpa keterangan kota dan tahun], juz V, halaman 26).

Mayoritas ulama memandang suara perempuan tidak termasuk aurat. Hanya saja sekiranya dapat menimbulkan fitnah, mendengarkan suara perempuan yang dilagukan atau dibuat mendayu dan sebagainya bisa menjadi haram sebagaimana keterangan berikut ini:


صوت المرأة عند الجمهور ليس بعورة؛ لأن الصحابة كانوا يستمعون إلى نساء النبي صلّى الله عليه وسلم لمعرفة أحكام الدين، لكن يحرم سماع صوتها بالتطريب والتنغيم ولو بتلاوة القرآن، بسبب خوف الفتنة. وعبارة الحنفية: الراجح أن صوت المرأة ليس بعورة



Artinya, “Suara perempuan menurut mayoritas ulama bukan aurat karena para sahabat mendengarkan para istri Rasulullah SAW untuk memahami hukum agama. Tetapi (laki-laki) diharamkan mendengarkan suara perempuan dengan merdu dan lagu meskipun hanya membaca Al-Quran karena khawatir fitnah. Ulama Hanafiyah mengungkapkan, suara perempuan bukan aurat,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz, halaman 595).

Keharaman mendengarkan suara perempuan dalam bentuk apapun baik itu tadarus, tilawah, nyanyian, atau sendandung, terletak pada kemunculan fitnah.

Kalau seorang laki-laki mendengarkan perempuan yang bukan mahramnya bernyanyi sambil berkhalwat (hanya berdua dalam satu ruangan), tentu saja ini diharamkan. Di sini letak fitnahnya yang melahirkan keharaman, bukan karena mendengarkan suaranya.


وتخفض المرأة صوتها إن صلت بحضرة الرجال الأجانب، بحيث لا يسمعها من صلت بحضرته من الأجانب، دفعاً للفتنة، وإن كان الأصح أن صوتها ليس بعورة، فلا يحرم سماع صوت المرأة ولو مغنية، إلا عند خوف الفتنة، بأن كان لو اختلى الرجل بها، لوقع بينهما مُحرَّم



Artinya, “Perempuan merendahkan suaranya ketika shalat di dekat laki-laki yang bukan mahram sekira laki-laki tidak dapat mendengar suaranya untuk menghindari fitnah sekalipun menurut pendapat yang shahih suaranya bukan aurat. Mendengarkan suara perempuan tidak diharamkan sekalipun suara biduanita atau penyanyi perempuan kecuali bila dikhawatirkan menimbulkan fitnah, yaitu misalnya seorang laki-laki bukan mahram menyendiri bersama perempuan tersebut, tentu hal ini diharamkan,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz, halaman 747).

Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa suara perempuan bukan bagian dari aurat. Kaum laki-laki, menurut mereka, boleh mendengarkan suara perempuan yang bukan mahram sekalipun sebagai keterangan berikut ini:


أَمَّا صَوْتُ الْمَرْأَةِ فَلَيْسَ بِعَوْرَةٍ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ. وَيَجُوزُ الاِسْتِمَاعُ إِلَيْهِ عِنْدَ أَمْنِ الْفِتْنَةِ، وَقَالُوا: وَنُدِبَ تَشْوِيهُهُ إِذَا قُرِعَ بَابُهَا فَلاَ تُجِيبُ بِصَوْتٍ رَخِيمٍ



Artinya, “Suara perempuan bukan aurat menurut Ulama Syafiiyah. Ketika aman dari fitnah, (kita) boleh mendengarkan suaranya. Mereka mengatakan, perempuan dianjurkan untuk ‘menyamarkan’ suaranya. Bila pintu rumahnya diketuk, ia tidak menjawab dengan suara gemulai,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Safwah: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz 31, halaman 47).

Secara eksplisit Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa suara perempuan bukan bagian dari aurat sehingga kita tidak diharamkan untuk mendengarkan suaranya.


فائدة) صوت المرأة ليس بعورة على الصحيح فلا يحرم سماعه ولا تبطل الصلاة به لو جهرت والخنثى كالأنثى رقا وحرية



Artinya, “Informasi, suara perempuan bukan aurat menurut pendapat yang shahih. (Kita) tidak haram mendengarkan suaranya. Shalat seorang perempuan tidak menjadi batal sekiranya ia mengeraskan suara. Kedudukan (hukum) banci setara dengan perempuan baik ia sebagai budak maupun merdeka,” (Lihat Syihabuddin Ahmad Al-Barlisi/Umairah, Hasyiyah Umairah, [Mesir, Syirkah Musthafa Al-Babi Al-Halabi: 1956 M/1375 H], cetakan ketiga, juz I, halaman 177).

Dari pelbagai keterangan ini, kita dapat mengambil simpulan bahwa ulama berbeda pendapat perihal suara perempuan.

Hanya saja mayoritas ulama mengatakan bahwa suara perempuan tidak termasuk aurat sehingga orang yang bukan mahram boleh mendengarkan suara perempuan dalam bentuk bicara, orasi, ceramah ilmiah, tilawah, tadarus, nyanyi, atau senandung sejauh aman dari fitnah. Berdasarkan pendapat mayoritas ulama, kita dapat menyimpulkan bahwa perempuan dapat mengambil profesi atau membangun karier yang berkaitan dengan tarik suara atau menggunakan suaranya.

Wanita Haram Memakai Parfum?


Sebagian wanita yang sudah belajar agama ada yang salah memahami bahwa parfum itu haram dan tidak boleh bagi wanita. Mungkin karena membaca hadits berikut.

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.” (HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad. Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ , no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Memang benar, akan tetapi yang dimaksud hadits tersebut adalah parfum untuk keluar rumah dan laki-laki bisa mencium wanginya dan bisa membangkitkan syahwat laki-laki.
Al-Munawi rahimahullah berkata,

والمرأة إذا استعطرت فمرت بالمجلس فقد هيجت شهوة الرجال بعطرها وحملتهم على النظر إليها، فكل من ينظر ‏إليها فقد زنا بعينه، ويحصل لها إثمٌ لأنها حملته على النظر إليها وشوشت قلبه، فإذن هي سببُ زناه بالعين، فهي أيضاً زانية

“Wanita jika memakai parfum kemudian melewati majelis (sekumpulan) laki-laki maka ia bisa membangkitkan syahwat laki-laki dan mendorong mereka untuk melihat kepadanya. Setiap yang melihat kepadanya maka matanya telah berzina. Wanita tersebut mendapat dosa karena memancing pandangan kepadanya dan membuat hati laki-laki tidak tenang. Jadi, ia adalah penyebab zina mata dan ia termasuk pezina.” (Faidhul Qadir, 5:27, Makatabah At-Tijariyah, cet. 1, 1356 H, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

Islam memang tegas dalam hal ini, mengingat sangat besarnya fitnah wanita terhadap laki-laki. Bahkan jika sudah terlanjur memakai parfum kemudian hendak ke masjid, sang wanita diperintahkan mandi agar tidak tercium bau semerbaknya. Padahal tujuan ke masjid adalah untuk beribadah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أيما امرأة تطيبت ثم خرجت إلى المسجد لم تقبل لها صلاة حتى تغتسل

“Perempuan manapun yang memakai parfum kemudian keluar ke masjid, maka shalatnya tidak diterima sehingga ia mandi.” (Hadits riwayat Ahmad, 2:444. Syaikh Al-Albani menilainya shahih dalam Shahihul Jami’, no.2703)
Ada parfum yang boleh bagi perempuan
Larangan diatas bukan berarti perempuan tidak boleh memakai wewangian sama sekali atau dibiarkan berbau tak sedap. Perhatikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إن طيب الرجال ما خفي لونه وظهر ريحه ، وطيب النساء ما ظهر لونه وخفي ريحه

“Wewangian seorang laki-laki adalah yang tidak jelas warnanya tapi tampak bau harumnya. Sedangkan wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas namun baunya tidak begitu nampak.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no.7564; hadits hasan. Lihat: Fiqh Sunnah lin Nisa’, hlm. 387)
Oleh karena itu, jika parfum dengan wangi sedikit/samar atau untuk sekadar menetralkan bau, (misalnya: deodoran), maka boleh. Selain itu, jika untuk suami, silakan berwangi seharum mungkin. Perlu diperhatikan bahwa parfum wanita warnanya jelas.
Al-Munawi rahimahullah berkata,

وطيب النساء ما ظهر لونه وخفي ريحه) قالوا: هذا فيمن تخرج من بيتها وإلا فلتطيب بما شاءت

“Maksud dari ‘wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas namun baunya tidak begitu nampak’. Ulama berkata, ‘Ini bagi perempuan yang hendak keluar dari rumahnya. Jika tidak, ia bisa memakai parfum sekehendak hatinya.’” (Syarh Asy-Syama’il, 2:5)




Proses Taaruf itu Perjodohan Syari atau Ibarat Kucing dalam Karung?


Selain kesiapan mental, aturan untuk tidak berproses dengan yang lain saat yang satu belum diputuskan dalam proses taaruf, harus dipatuhi.

Banyak orang yang tidak percaya bahwa proses taaruf, yaitu menjodohkan seseorang sampai jenjang pernikahan tanpa pacaran, adalah proses terbaik yang sesuai dengan syariat Islam yang menjamin suksesnya sebuah hubungan antara dua insan. Sebagai catatan, dua insan di sini maksudnya yang berbeda jenis kelaminnya, ya, bukan yang… nganu. Hehe.

Kebanyakan orang berpikir, bagaimana mungkin dua orang yang bisa jadi tadinya tidak saling mengenal, dalam kurun waktu yang relatif singkat, justru dapat memiliki keyakinan untuk saling mengikat diri dan menjajaki pernikahan? Padahal, yang bertahun-tahun pacaran aja bisa kandas ditelikung orang! Ups.

Yup, proses taaruf memang dapat dibilang singkat. Dalam komunitas tarbiyah, taaruf bahkan hanya diberi waktu 2 sampai 6 bulan saja—nggak boleh sampai menahun. Batuk menahun aja bahaya, apalagi taarufan? Hehe.
Setelah paling lama 6 bulan berkenalan, selanjutnya dua insan ini dipersilakan membuat keputusan: mau lanjut ke pernikahan atau dihentikan. Yang jelas, beri kepastian, jangan ngasih gantungan. Kamu pikir ini baju, harus digantung-gantung?!

Tapi rupanya, jarang ada yang benar-benar tahu, mengerti, bahkan memahami proses “njlimet” yang terjadi dalam kurun waktu men-taaruf-kan orang yang terbilang singkat tersebut. Makanya, saya terdorong untuk berbagi cerita kepada kawan-kawan. Namun yang saya ceritakan ini proses taaruf yang dilakoni para penggiat tarbiyah, ya.

Kalau ada perbedaan dengan komunitas yang lain, harap diambil jalan damai, eh jalan tengahnya saja. Tak perlu diributkan, apalagi jadi sambit-sambitan. Nanti pinter kagak, malah benjol dengkul ,eh kepala kita!
Baiklah, mari kita mulai.
*JENG JENG JENG*
Orang-orang tarbiyah menjalani proses taaruf melalui perantara. Yang paling sering didaulat (direpotin) menjadi perantara di sini adalah para guru ngaji yang biasa disebut Murobbi (bagi laki-laki) dan Murobbiyah (bagi perempuan). Kita singkat saja penyebutannya menjadi Mr biar saya nggak pegel nulisnya.

Adakalanya, Mr menugaskan pihak lain yang terpercaya untuk menjadi perantara, mengambil alih perjodohan. Jadi intinya, proses taaruf TIDAK boleh dilakukan tanpa perantara. Ikhwan (laki-laki) dan akhwat (perempuan) yang akan dijodohkan tidak boleh berhubungan secara langsung, baik secara verbal maupun non-verbal, fisik maupun mental kejiwaan (apaan seh?!).

Tahapan pertama proses taaruf adalah pengumpulan dan pemilahan biodata para peserta taaruf. Dalam proses ini, Mr menyaring biodata yang masuk dan melakukan seleksi. Yang sekiranya kurang lengkap dan jelas, bakal dikembalikan ke pangkuan—eh kandidat, untuk dilengkapi. Yang sekiranya meragukan atau berlebihan, bakal dinasihati.

Oh iya, biodata taaruf ini sering disebut sebagai proposal yang harus menceritakan secara lengkap tentang personal peserta sehingga dapat memberi gambaran utuh akan kepribadian dan kehidupannya.
Lewat data tersebut, Mr akan menyeleksi calon kandidat yang berminat terhadap mad’unya (murid). Salah satu prinsip dari taaruf adalah sekufu. Para calon diusahakan berada dalam tingkatan yang sama dalam pendidikan, pemahaman agama, penghasilan, dan lingkungan keluarganya. Jadi tidak boleh asal tarik dan minta proposal orang lantas dipasangkan dengan siapapun yang “ngebet bin kebelet” ingin segera nikah!

Proses juga bisa diawali dengan adanya seorang ikhwan atau akhwat yang berinisiatif mengajukan dirinya untuk bertaaruf dengan seseorang. Biasanya, mereka akan mengirimkan proposal kepada Mr. Jikapun mereka mengirim biodata langsung kepada sosok yang ditaksir, yang ditaksir pun harus segera menyerahkan proposal yang naksir kepada Mr-nya. Pokoknya, mereka dilarang saling membuka biodata mendahului Mr-nya masing-masing, gitu deh.

Jika dirasa Mr cukup sesuai, proses taaruf bakal dilanjutkan ke tahap penyelidikan. Mr dan Mr (kok jadi kayak merek cokelat, ya?) akan saling berhubungan untuk mempertanyakan perihal kandidat yang akan ditaarufkan: cocok atau tidak? Setelah itu, Mr akan menghubungi kawan terdekat kandidat (biasanya teman liqo, saudara, teman kerja, bahkan tetangga) untuk menyelidiki keaslian beberapa hal yang dituliskan dalam proposal, juga meminta bantuan mereka untuk menjadi agen penyidik proses selanjutnya dan tim sukses taarufan. Keren, kan, ada mata-mata dalam proses taaruf?

Jika prinsip sekufu sudah didapatkan dan proses penyelidikan awal sudah berjalan dan terbukti sosok kandidat benar-benar manusia asli, bukan alien atau cuman akun bodong kloningan (hadeeeh, emangnya akun Facebook???), masing-masing Mr baru memberikan proposal tersebut kepada para kandidat ikhwan dan akhwat. Mereka bakal diberi waktu 3 sampai 7 hari untuk membaca, mendalami dan merenungkan proposal tersebut.

Yang perlu diingat, setiap tahapan proses taaruf bisa dilanjutkan jika kedua belah pihak sama-sama memiliki kecenderungan dan setuju untuk lanjut. Jika hanya satu pihak saja, proses akan langsung dihentikan.
Saat pertemuan, masing-masing kandidat didampingi oleh Mr. Pertemuan dilakukan di ruangan tertutup dan pihak yang bertaaruf dihimbau untuk merahasiakan setiap tahapan proses sampai saat pembagian undangan pernikahan tiba. Catet, noh: sampai undangan siap dibagikan!
Artinya apa? Artinya, ya, nggak usah norak dengan gembar-gembor ke orang sekampung kalau lagi taarufan, lah. Nanti bisa malu dan sedih kelewatan kalau ternyata prosesnya gagal ditengah jalan. Memangnya situ nggak belajar dari orang-orang yang pacaran bertahun-tahun , tapi akhirnya putus juga??? :(((

Saat bertemu, para kandidat dipersilakan melihat penampilan fisik (non-aurat) masing-masing. Akhwat yang bercadar akan diminta membuka cadarnya di sini. Ikhwan yang bertopi, ya, buka topinya, biar kelihatan pitakan atau nggak. Hehe, bercanda, ding.
Intinya, tidak ada boleh ada cacat fisik atau penyakit yang ditutupi. Jika ada di bagian aurat, tetap harus diinformasikan.
Para kandidat dipersilakan pula untuk saling bertanya soal personal, keluarga, pekerjaan, lingkungan sosial, visi misi pernikahan, sampai hal-hal pribadi lainnya yang harus dijawab secara jujur satu sama lain. Mr biasanya mencatat atau merekam pertemuan ini. Proses pertemuan umumnya terjadi selama 2 sampai 3 kali pertemuan dengan durasi yang panjang. Total, bisa 2 sampai 5 jam. Sesuai kebutuhan, lah.

Selama jeda dilangsungkannya pertemuan ke pertemuan berikutnya, Mr akan melakukan penyelidikan kembali terhadap jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Ia bakal memberikan informasi yang diperoleh kepada kandidat sebagai bahan pertimbangan.
Usai bertemu, para kandidat biasanya diberi kesempatan untuk berpikir, rata-rata dalam 7-14 hari, Kandidat bisa merenung, istikharoh, lalu mengambil keputusan untuk lanjut atau tidak. Soalnya, proses taaruf selanjutnya adalah…
…perkenalan keluarga!!!

Dalam proses ini, para kandidat mengunjungi rumah partner taarufnya, tentu dengan didampingi Mr. Sebelumnya, masing-masing kandidat harus mengondisikan keluarganya, bahwa ini hanyalah sebuah perkenalan, belum tentu “jadian”. Pihak keluarga diminta untuk bersikap biasa dan apa adanya saat ditemui. Nggak perlulah bermewah-mewahan karena dilarang dalam surah At Takasur.
Keluarga harus menceritakan dan menjawab secara jujur dan terbuka, apa pun yang ditanyakan oleh partner taaruf dan Mr-nya. Proses ini bisa berlangsung 1 sampai 2 kali pertemuan.
Setelahnya, para kandidat diberi waktu lagi untuk berpikir mengenai kelanjutan proses mereka. Mirip kata Armada: mauuu dibawaaa ke mana, hubungan kitaa?

Tahapan ta’aruf yang harus dilewati selanjutnya adalah khitbah.
Khitbah adalah proses lamaran. Jika kedua kandidat sudah mantap untuk melanjutkan taaruf, pihak ikhwan dan Mr-nya akan menemui orangtua si akhwat untuk memberitahu bahwa pada tanggal sekian dan bulan sekian, beliau akan datang bersama kedua orangtuanya untuk melamar anaknya.
Masyaallah, tabarakallah. Jadi pengin. Eh.

Dalam proses khitbah, kedua keluarga akan bertatap muka langsung. Acaranya tidak jauh berbeda dengan acara-acara lamaran lainnya. Di sana akan ditentukan mahar dan tanggal pernikahan (yang tidak boleh lama-lama) serta kesepakatan teknis penyelenggaraan acara sakral tersebut.
Setelah melalui proses khitbah dan tanggal pernikahan sudah ditentukan, kandidat diperbolehkan untuk saling berkomunikasi langsung tanpa perantara Mr lagi. Mereka boleh bertukar nomor hape dan mengomunikasikan hal-hal krusial menuju jenjang pernikahan. Tapi tentu tanpa melewati batas-batas syariah dan nggak boleh berdua-duaan. Kalaupun bertiga, juga harus sama orang, bukan setan. Hehe.

Dalam proses ini, pasangan umumnya bakal mengalami cek-cok dan benturan. Lagi-lagi, Mr-lah yang berperan mengusahakan perdamaian dan meluruskan jika ada kesalahpahaman. Apalagi jika pihak keluarga sudah ikut-ikutan berseteru. Mr harus bisa menjadi juru damai dan membaca situasi, bukan malah ikut manas-manasin kayak adminnya Lambe Turah.

Banyak sekali ujian yang menguras emosi datang di tahap ini. Pihak-pihak yang mulai terbuka satu sama lain haruslah bisa mengontrol diri dan berusaha berpikir jernih. Kapan-kapan saya ceritakan beberapa ujian yang kerap hadir di tahap ini. Kalau sekarang, tulisan ini bisa nambah 5 halaman lagi. Kepanjangan. Nanti kamu bosan, aku ditinggalkan, dan nggak dinaikkin lagi sama Mojok. Huhu.
Tahapan terakhir proses taaruf tentu saja saat akad tiba. Di momen inilah hampir semua malaikat turun mengerubungi tempat akad untuk ikut mendoakan sang pengantin. Makanya, bagi kamu yang belum menemukan pasangan, rajin-rajinlah datang ke akad teman. Berdoalah di sana. Siapa tahu, doamu turut dikumandangkan para malaikat sehingga mempercepat proses antreanmu menemukan si dia.
Ada beberapa catatan yang wajib dipatuhi ikhwan dan akhwat dalam proses taaruf ini. Selain kesiapan mental, aturan untuk tidak berproses dengan yang lain saat yang satu belum diputuskan untuk berhenti atau lanjut, harus dipatuhi.
Tidak ada yang boleh bertaaruf paralel karena ini bukan perkara listrik, apalagi parkir kendaraan. Hehe, lucu, kan, jokes saya?
Yah, pokoknya, ini tentang hati manusia yang rindu pada belahan jiwa dan ingin segera menemukannya.
Tidak boleh pula ada yang “main belakang” tanpa sepengetahuan Mr, semisal ngajakin akhwat taarufan, tapi ujung-ujungnya malah pacaran. Nanti kalo terjadi kasus yang tidak diinginkan, Mr-mu juga yang ikut kena bully, tau!
Tidak boleh pula ada ikhwan yang mengajukan diri untuk bertaaruf dengan akhwat yang diketahuinya sudah dikhitbah (yang ini, sih, dalam syariat malah haram hukumnya). Jangan coba-coba menelikung di sini kalau nggak mau disembur orang sekampung, deh. Sekampung tarbiyah, maksudnya. Hehe.
Bagaimana?! Panjang dan njlimet, kan?! Yakin kamu masih mau ikutan taaruf? Atau, masih anggap ini seperti beli kucing dalam sarung, eh karung? Duh, taaruf itu bukan aksi tutup mata dan tinggal tunjuk, terus jadian, Kak! Sungguh terlalu!
Yang jelas, kejujuran adalah hal yang utama. Jika kamu jujur, insyaallah calonmu juga jujur. Jika kamu baik, insyaallah calonmu juga baik. Ingat, laki-laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik, begitupun sebaliknya. Itu janji Allah.
Tanamkan keyakinan bahwa jodohmu sudah ditentukan, bahkan sebelum kamu dilahirkan. Sudah pula tertulis namanya di Lauh Mahfudz. Tinggal kehendak Allah saja, nih: kapan kalian akan dipertemukan?
Akhir kata, semoga proses taaruf bisa dijadikan wasilah terbaik untuk mempertemukan kalian, bukannya pacaran yang mendekatkan kalian kepada kemaksiatan dan juga kemungkinan kesia-siaan menghabiskan waktu menjaga jodoh orang.

Hukum Berjabat Tangan antara Laki-laki dan Perempuan

Para  ulama berbeda pendapat perihal jabat tangan atau salaman (mushafahah) seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.


Mayoritas ulama kecuali madzhab Syafi‘i membolehkan jabat tangan atau salaman (mushafahah) dengan perempuan tua yang bukan mahram sebagaimana keterangan berikut ini:



وتحرم مصافحة المرأة، لقوله صلّى الله عليه وسلم: «إني لا أصافح النساء». لكن الجمهور غير الشافعية أجازوا مصافحة العجوز التي لا تشتهى، ومس يدها، لانعدام خوف الفتنة، قال الحنابلة: كره أحمد مصافحة النساء، وشدد أيضاً حتى لمحرم، وجوزه لوالد، وأخذ يد عجوز شوهاء



Artinya, “Jabat tangan dengan perempuan haram berdasarkan sabda Rasulullah SAW, ‘Aku tidak berjabat tangan dengan perempuan,’ (HR Al-Muwaththa’, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i). Tetapi mayoritas ulama selain madzhab Syafi’I membolehkan jabat tangan dan sentuh tangan perempuan tua yang tidak bersyahwat karena tidak khawatir fitnah. Hanya saja Madzhab Hanbali memakruhkan jabat tangan dengan perempuan dan melarang keras termasuk dengan mahram. Tetapi Madzhab Hanbali membolehkan jabat tangan bagi seorang bapak dengan anaknya dan membolehkan jabat tangan perempuan tua–maaf–buruk rupa,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 3, halaman 567).

Sedangkan Madzhab Syafi’i mengharamkan jabat tangan dan memandang perempuan, sekalipun hanya perempuan tua. Hanya saja Madzhab Syafi’i membolehkan jabat tangan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dengan dihalangi semisal sarung tangan sebagaimana keterangan berikut ini:


وحرم الشافعية المس والنظر للمرأة مطلقاً، ولو كانت المرأة عجوزاً. وتجوز المصافحة بحائل يمنع المس المباشر

Artinya, “Madzhab Syafi’i mengharamkan bersentuhan dan memandang perempuan secara mutlak, meskipun hanya perempuan tua. Tetapi boleh jabat tangan dengan alas (sejenis sarung tangan atau kain) yang mencegah sentuhan langsung,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 3, halaman 567).


Lalu bagaimana dengan jabat tangan seorang laki-laki dan perempuan muda yang bukan mahramnya?

Ulama dari empat madzhab dan juga Ibnu Taymiyah mengharamkan praktik tersebut. Tetapi ulama dari Madzhab Hanafi memberikan catatan bahwa keharaman itu berlaku sejauh perempuan muda tersebut dapat menimbulkan syahwat sebagaimana keterangan berikut ini:



وَأَمَّا مُصَافَحَةُ الرَّجُل لِلْمَرْأَةِ الأجْنَبِيَّةِ الشَّابَّةِ فَقَدْ ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الرِّوَايَةِ الْمُخْتَارَةِ، وَابْنُ تَيْمِيَّةَ إِلَى تَحْرِيمِهَا، وَقَيَّدَ الْحَنَفِيَّةُ التَّحْرِيمَ بِأَنْ تَكُونَ الشَّابَّةُ مُشْتَهَاةً، وَقَال الْحَنَابِلَةُ : وَسَوَاءٌ أَكَانَتْ مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ كَثَوْبٍ وَنَحْوِهِ أَمْ لاَ



Artinya, “Perihal jabat tangan seorang laki-laki dengan perempuan muda bukan mahram, ulama Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali dalam riwayat pilihan, serta Ibnu Taimiyah memandang keharamannya. Tetapi Ulama Madzhab Hanafi memberikan catatan keharaman itu bila perempuan muda tersebut dapat menimbulkan syahwat. Sedangkan Madzhab Hanbali mengatakan, keharaman itu sama saja apakah jabat tangan dilakukan dengan alas seperti pakaian, sejenisnya, atau tanpa alas,” (Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Safwah: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz 37, halaman 359).

Perbedaan pandangan ulama perihal ini juga diangkat oleh Syekh Ali Jum‘ah dalam seperti dilansir laman Darul Ifta (Lembaga Fatwa Mesir) nomor 2287 yang diunggah pada 13 Januari 2011 berikut ini:



مصافحة الرجل للمرأة الأجنبية محل خلاف في الفقه الإسلامي؛ فيرى جمهور العلماء حرمة ذلك، إلا أن الحنفية والحنابلة أجازوا مصافحة العجوز التي لا تُشتَهَى؛ لأمن الفتنة… بينما يرى جماعة من العلماء جواز ذلك؛ لما ثبت أن عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه صافح النساء لمَّا امتنع النبي صلى الله عليه وآله وسلم عن مصافحتهن عند مبايعتهن له، فيكون الامتناع عن المصافحة من خصائص النبي صلى الله عليه وآله وسلم



Artinya, “Jabat tangan seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya menjadi arena perbedaan pendapat ulama dalam kajian fiqih Islam. Mayoritas ulama memandang haram praktik itu kecuali Madzhab Hanafi dan Hanbali yang membolehkan praktik itu terhadap perempuan tua yang tidak lagi membangkitkan syahwat karena aman dari fitnah... Ketika sebagian ulama membolehkan praktik itu berdasarkan riwayat bahwa Sayyidina Umar RA berjabat tangan dengan perempuan di mana Rasulullah SAW menahan diri dari praktik tersebut, maka penahanan diri Rasulullah dari praktik itu dipahami sebagai bagian dari kekhususan Nabi Muhammad SAW,” (Lihat Syekh Ali Jumah, Darul Ifta, [Mesir, Darul Ifta: 2011], nomor 2287).

Ulama yang membolehkan praktik ini bersandar pada riwayat yang menceritakan praktik jabat tangan dengan perempuan bukan mahram oleh Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar RA. Mereka menyimpulkan bahwa penahanan diri Rasulullah SAW dari praktik tersebut bersifat khususiyah atau pengecualian yang khusus untuk dirinya sendiri. Sementara ulama yang mengharamkan mendasarkan pandangannya pada keumuman hadits.



Kecerdikan Ratu Bilqis


Ketika mendengar nama Balqis, yang tergambar dalam benak kita adalah penguasa Negeri Saba, pemilik istana megah, perempuan super kaya, dan perempuan penyembah matahari. Iya betul, atas alasan itulah Hud-hud mengadukan alasan kealpaannya tatkala Nabi Sulaiman memeriksa kumpulan burung. Kalau saja Hud-hud datang tanpa alasan yang jelas niscaya ia bakal disiksa atau disembelih. Beruntung Hud-hud kembali merapat ke barisan dengan kabar yang istimewa.
Kabar apalagi kalau bukan tentang Ratu Balqis yang dijumpai Hud-hud usai berlalu-lalang. Kisah ini terekam dalam Al-Quran Surah an-Naml ayat 20 sampai dengan 44. Setelah Nabi Sulaiman mengirim surat melalui Hud-hud kepada Balqis, Nabi yang mengerti semua jenis bahasa itu mengumpulkan seluruh tentaranya baik dari kalanagan bangsa Jin dan manusia untuk memindahkan istana Balqis ke hadapannya.
Setelah singgasana Balqis didatangkan kepada Nabi Sulaiman sebelum Balqis tiba di hadapannya, maka Nabi Sulaiman memerintahkan agar singgasana itu dirubah sebagian ciri khasnya untuk menguji pengetahuan dan kekuatan daya ingat Balqis saat melihat singgasananya yang telah diubah itu. Apakah Balqis dapat menebak bahwa itu adalah singgasananya ataukah tidak?
قَالَ نَكِّرُوا لَهَا عَرْشَهَا نَنْظُرْ أَتَهْتَدِي أَمْ تَكُونُ مِنَ الَّذِينَ لَا يَهْتَدُون
Dia berkata, “Ubahlah baginya singgasananya; maka kita akan melihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenal(nya).”   (QS. an-Naml: 41).
Ibnu Abbas mengatakan, sebagian aksesoris singgasana itu dilepas. Mujahid mengatakan bahwa Sulaiman AS. memerintahkan agar apa yang tadinya berwarna merah diubah dengan warna kuning, yang tadinya berwarna kuning diubah menjadi merah, dan yang tadinya berwarna hijau diubah menjadi merah, semua warna diubah dari keadaan semula.
Ikrimah mengatakan bahwa mereka melakukan penambahan dan pengurangan pada singgasana tersebut. Qatadah mengatakan bahwa yang tadinya diletakkan di bagian atas ditaruh di bawah, dan yang tadinya ditaruh di belakang diletakkan di muka, lalu mereka melakukan sedikit modifikasi penambahan dan pengurangan pada istana Balqis. Sebagaimana ayat selanjutnya yang berbunyi:
َفَلَمَّا جَاءَتْ قِيلَ أَهَكَذَا عَرْشُكِ قَالَتْ كَأَنَّهُ هُوَ
Makaketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya, “Apakah ini singgasanamu?” Dia menjawab, “Sepertinyaini singgasanaku…” (QS. an-Naml: 42).
Ditampilkan ke hadapan Balqis singgasananya yang telah diubah dan yang telah dimodifikasi dengan sedikit penambahan dan pengurangan. Di sinilah sang Ratu Negeri Saba teruji. Akan tetapi, dalam keadaan pangling Ratu Balqis tidak lantas kehilangan kecerdasannya. Selain Ratu berwibawa, Balqis rupanya juga cerdik dan teliti.
Buktinya, saat ditanya oleh Nabi Sulaimam, Balqis tidak menjawab bahwa “iya itu adalah singgasanaku,” mengingat jarak perjalanan yang sangat jauh (antara Yaman dan Baitul Maqdis). Balqis juga tidak menjawab, “tidak, ini bukan singgasanaku,” mengingat masih banyak terdapat ciri-ciri khas singgasana miliknya yang masih utuh, hanya telah mengalami modifikasi dan perubahan. Maka ia menjawab, “Sepertinya ia, ini singgasanaku ( هُو كَأَنَّهُ) yakni, mirip dengan singgasananya. Ungkapan ini menunjukkan kecerdikan dan kecermatan Ratu Balqis.
Wallahu A’lam.

Adab-Adab Menuntut Ilmu


Adab mencari ilmu selama ini sering diabaikan. Hubungan antara murid dan guru tak ubahnya penjual dan pembeli. Si murid merasa telah membayar SPP dan uang gedung dengan nilai nominal yang tidak murah sehingga penghormatan kepada guru dianggap sebagai hal yang bukan acuan utama.
Kini, saatnya kita kembali mendulang adab-adab mencari ilmu yang telah dipanggungkan oleh para ulama sehingga ilmu dapat memberi manfaat, bukan hanya pada tataran duniawi, namun juga pada tataran ukhrawi.
Habib Zain bin Ibrahim bin Sumait dengan ketajaman analisa dan penanya, mementaskan empat adab bagi pencari ilmu.
Adab pertama bagi seorang pencari ilmu ialah menyucikan hati dari segala pelanggaran-pelanggaran yang dimurkai Allah.
Adab pertama ini memberi gambaran kepada kita bahwa sebelum memulai aktivitasnya, terlebih dahulu seorang pencari ilmu mengevaluasi kondisi hati. Adakah penyakit hati yang masih mengendap dalam dirinya sehingga ia harus membersihkannya terlebih dahulu?
Imam Nawawi dalam mukaddimhn Syarh Al-Muhadzdzab berkata: “Seyogyanya bagi seorang penuntut ilmu menyucikan hatinya dari kotoran-kotoran sehingga ia layak menerima ilmu, menghafal, dan memanfaatkannya.”
Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad memberi perumpaan yang sungguh indah tentang hati yang kotor. Beliau mengatakan, “Jika seseorang datang dengan membawa sebuah wadah kotor untuk diisi madu di dalamnya, maka orang yang akan membeli madu tersebut pasti akan berkata, Cucilah terlebih dahulu wadah yang kotor ini, baru kamu isi dengan madu.”
Kata Imam Abdullah, “Dalam masalah dunia saja, wadah yang kotor perlu dibersihkan, maka bagaimana dapat rahasia-rahasia ilmu Allah itu justru diletakkan di dalam hati-hati yang dekil?”
Pada satu kesempatan, Imam Malik memberi nasihat kepada muridnya Imam Syafi`i. Kala itu, Sang Guru merasa takjub dengan kecerdasan yang dimiliki oleh Syafi`i. Nasihat tersebut bunyinya, “Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah. Jauhilah maksiat. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala telah meletakkan cahaya di dalam hatimu maka janganlah kamu padamkan dengan maksiat-maksiat kepada-Nya.”
Adab pertama ini merupakan langkah awal bagi para pencari ilmu, tak terkecuali para guru, untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakit yang malah menjadi penghalang masuknya ilmu dalam sanubari.
Ilmu tidak terletak pada ijazah, raport, dan gelar akademik semata, tapi pada manfaat dan amal sebagai buahnya ilmu. Dan, itu tak akan mungkin terwujud tanpa hati yang bersih.
Adab kedua, menurut Habib Zain, adalah ikhlas karena Allah di dalam mencari ilmu. Seseorang tidak diperkenankan mencari ilmu dengan kemuliaan diri yang melekat. Seorang pencari ilmu mesti ikhlas karena Allah. Dengan modal ikhlas tersebut, ia berusaha membuat hati gurunya ridha mengangkat dan mengakui sebagai murid setianya.
Suatu hari, Abdullah bin Abbas membawa tali pengikat kendaraan gurunya Ubay bin Ka`ab. Ia tuntun kendaraan gurunya itu. Sang guru bertanya, “Ada apa ini, wahai putra Abbas?” Dijawab, “Demikianlah kami diperintahkan untuk menghormati guru-guru kami.” Abdullah tetap memandu jalannya kendaraan sang guru sampai ke tempat tujuan.
Sufyan bin Uyainah berkata, “Saat aku berusia empat tahun, aku telah dapat membaca Al-Qur`an. Saat berusia tujuh tahun, aku telah dapat menulis hadits. Saat berusia lima belas tahun, ayahku berkata kepadaku:
‘Wahai anakku, sekarang engkau telah beranjak dewasa. Maka lakukanlah kebaikan niscaya engkau akan termasuk sebagai ahli kebaikan. Ketahuilah, seseorang tidak akan diberi kebahagiaan berkumpul dengan para ulama kecuali orang yang taat kepada mereka. Maka taatilah para ulama, niscaya engkau akan memperoleh kebahagiaan. Berkhidmatlah kepada mereka, pasti engkau akan mendapatkan ilmu mereka.’
Kata Sufyan, “Sejak mendengar nasihat ayahku tersebut, aku selalu condong kepada para ulama, tidak berpaling sedikitpun dari mereka.”
Adab kedua memberi pengertian bahwa pencari ilmu mesti menanggalkan kebanggaan nasab, kedudukan, dan harta yang ia miliki. Ia lepaskan demi terjun secara total meraih ilmu lewat para guru dan ulama dengan penuh keihlasan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Adab ketiga yang harus ada pada diri penuntut ilmu adalah mengambil faedah (manfaat) di mana saja berada. Pencari ilmu mesti jeli melihat, mengamati, dan meraih manfaat dari tiap jengkal langkah hidupnya. Tidaklah berlalu sesaat dari umurnya, kecuali ia isi dengan kemanfaatan.
Abu Al-Bakhtary berkata: “Duduk bersama suatu kaum yang lebih mempunyai ilmu daripada saya, lebih saya sukai tinimbang bersama kaum yang derajat ilmunya di bawah diriku” Mengapa? Jawabnya, “Karena, jika aku duduk bersama kaum yang derajat pengetahuannya di bawahku, aku tidak bisa mengambil manfaat. Namun jika aku duduk bersama orang-orang yang lebih berilmu dari diri saya ini, aku bisa mengambil manfaat sebanyak-banyaknya.”
Adab keempat yang disebutkan oleh Habib Zain adalah bersikap sederhana dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Makan dan minum adalah kebiasaan siapa saja. Manusia makan dan minum untuk hidup. Namun hal demikian tidak lantas menjadi alasan untuk berlebih-lebihan, khususnya bagi pencari ilmu.
Bahkan, seorang ulama bernama Sahnun berkata: “Ilmu tidak akan diperoleh bagi orang yang makan hingga kekenyangan.”
Dalam wasiat penuh hikmah dari Lukman Al-Hakim kepada putranya, ia berkata: “Wahai anakku, jika perut telah terisi penuh pikiran akan tertidur, hikmah akan berhenti mengalir, dan badan akan lumpuh dari beribadah.”
Imam Syafi`i berkata, “Aku tidak pernah merasa kenyang sejak enam belas tahun silam. Karena kekenyangan itu membebani badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, membuat kantuk, dan melemahkan orang tersebut dari beribadah.”
Demikianlah empat etika yang dipaparkan oleh Habib Zain seputar adab bagi manusia-manusia yang menceburkan dirinya dalam lautan ilmu. Ambillah ilmu yang hendak kita miliki sebanyak-banyaknya namun janganlah kita absen dari adab. Dengan empat adab tersebut, ilmu menjadi berkah untuk semua.*

Detik-Detik Wafatnya Siti Khadijah




Siti Khadijah termasuk dalam golongan orang yang pertama masuk Islam.
Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad SAW, beliau adalah seorang janda yang berasal dari kabilah bani Asad dari Suku Quraisy.

Siti Khadijah berprofesi sebagai pedagang dan menjalankan usahanya dengan tekun.
Dialah orang yang sangat berjasa dalam dakwahnya Rasulullah untuk menyebarkan agama Islam.
Setiap apa yang dilakukan oleh Siti Khadijah selalu diatas landasan kebenaran hingga ia menjadi tauladan bagi kaum wanita di zamannya.

Manakala ia memutuskan untuk menikah dengan Nabi Muhammad, ia tidak peduli dengan status Nabi Muhammad yang bukan termasuk golongan bangsawan, karena yang ia lihat hanyalah kemuliaan akhlak dari seorang Muhammad.
Siti Khadijah wafat pada hari ke-11 bulan Ramadhan tahun ke-10 Kenabian yakni tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah.

Ia wafat dalam usia 65 tahun dan pada saat itu usia Nabi Muhammad SAW sekitar 50 tahun.
Sesaat sebelum wafat, Siti Khadijah berkata kepada Rasulullah SAW, yang merupakan permintaan terakhir beliau kepada Rasulullah SAW.
Rasulullah pun menjawab: "Jauh dari itu ya Khadijah, Engkau telah mendukung dakwah Islam sepenuhnya".
Kemudian Khadijah pun memanggil Fatilah Azzahra lalu berkata dengan pelan:
"Fatimah putriku, aku yakin ajalku segera tiba, yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong pintakan kepada ayahmu, aku malu dan takut memintanya sendiri, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa untuk menerima wahyu agar dijadikan kain kafanku."

Rasulullah pun berkata: "Wahai Khadijah, Allah menitipkan salam kepadamu, dan telah dipersiapkan tempatmu di surga."
Siti Khadijah pun meninggal di pangkuan Rasulullah.
Rasulullah mendekap Khadijah dengan penuh perasaan pilu. Air matanya menetes, demikian juga orang -orang yang ada di sekitar Rasulullah.

Di dekat jazad Khadijah, Rasulullah dengan kesedihan yang mendalam berkata
"Wahai Khadijah istriku sayang, demi Allah, aku takkan pernah mendapatkan istri sepertimu. Pengabdianmu kepada Islam dan diriku sungguh luar biasa. ALLAH maha mengetahui semua amalanmu. Semua hartamu kau hibahkan untuk Islam. Kaum muslimin pun ikut menikmatinya. Semua pakaian kaum muslimin dan pakaianku ini juga darimu.
“Namun begitu, mengapa permohonan terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban?
Itulah permintaan terakhir Siti Khadijah kepada Rasulullah sebelum wafat, hanya selembar kain sorban milik Rasulullah.
Padahal jika melihat harta kekayaan Siti Khadijah, ia memiliki 2/3 kekayaan kota Mekkah.
Sejak menikah dengan Rasulullah, semua harta kekayaan Siti Khadijah habis diserahkan kepada Allah dan RasulNya dalam memperjuangkan Islam.

Pernah suatu ketika Rasulullah tertidur dan Siti Khadijah membelai kepala rasulullah dengan kasih sayangnya hingga tak terasa air mata Siti Khadijah menetes dan mengenai pipi Rasulullah dan membuatnya terbangun lalu Beliau berkata.
"Wahai Khadijah, mengapa engkau menangis? adalah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad?"
"Engkau dulu seorang bangsawan dan mulia. namun sekarang engkau telah dihina orang dan menjauh darimu. Semua kekayaanmu habis. Adakah engkau menyesai walah Khadijah bersuamikan aku, Muhammad?"
Dengan lembut Siti Khadijah menjawab.
"Wahai Suamiku, bukan itu yang kutangiskan. Dahulu aku mememiliki kemuliaan dan kemuliaan itu telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu Aku adalah seorang bangsawan dan kebangsawanan itu pun telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu juga aku memiliki kekayaan dan semua kekayaan itu pun telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya."
"Wahai Rasulullah. Sekarang aku tak punya apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus memperjuangkan agama ini. Wahai Rasulullah. Sekiranya aku mati sedangkan perjuanganmu belum selesai, sekiranya engkau hendak menyeberangi sebuah lautan, sekiranya engkau hendak menyeberangi sungai namun engkau tidak memperoleh rakit ataupun jembatan. Maka galilah lubang kuburku, ambillah tulang belulangku. Jadikanlah sebagai jembatan untuk engkau menyeberangi sungai itu supaya engkau bisa berjumpa dengan manusia dan melanjutkan dakwahmu. Ingatkan mereka tentang kebesaran Allah. Ingatkan Mereka kepada yang hak. Ajak mereka kepada Islam, wahai Rasulullah."

Apa yang disampaikan Siti Khadijah kepada Rasulullah tersebut sungguh membuat hati Rasulullah pilu.

Hingga tahun tersebut pun disebut sebagai tahun kesedihan (Aamul Huzni) dalam kehidupan Rasulullah.
Betapa mulianya hati seorang Siti Khadijah yang selalu mendorong dan mendukung suaminya agar tetap dalam kebenaran sampai memberikan segala yang ia miliki.

Hingga saat menjelang wafat pun ia hanya menggunakan pakaian yang sudah kumuh dengan 83 tambalan.
Andai semua wanita mencontoh apa yang dilakukan oleh Siti Khadijah ini, yang cinta hanya berlandaskan iman dan akhlak semata-mata, tentunya rumah tangga akan menjadi harmonis tanpa percekcokan dan perselingkuhan.